Kamis, 28 Mei 2015

Kesehatan Mental Fenomena Depresi

Teori Depresi

            Prevalensi depresi meningkat selama masa remaja. Rata-rata tahunan hampir mendekati 9 persen anak-anak muda usia 12 hingga 17 tahun memiliki pengalaman setidaknya satu episode mengalami depresi dan hanya sekitar 40 persennya telah dirawat (National Survey on Drug Use and Health [NSDUH], 2008). Angka pada umumnya meningkat  sesuai bertambahnya usia. Depresi pada orang muda tidak selalu tampak sebagai bentuk kesedihan, tetapi juga mudah marah, kejenuhan atau ketidakmampuan untuk menikmati rasa senang. Salah satu alasan depresi memerlukan penanganan serius adalah karena menimbulkan bahaya bunuh diri (Brent & Birmaher, 2002).

            Standar dan tujuan personal yang tinggi dapat berakibat pada pencapaian dan kepuasan diri. Akan tetapi saat manusia menempatkan suatu tujuan yang terlalu tinggi, mereka memiliki kemungkinan untuk gagal yang lebih tinggi. Kegagalan sering berakibat terhadap depresi, dan orang-orang depresi sering menurunkan nilai pencapaian mereka sendiri. Hasilnya adalah kesedihan kronis, perasaan tidak berharga, perasaan tidak memiliki tujuan, dan depresi yang bertahan. Bandura (1986, 1997) yakin bahwa depresi disfungsi dapat terjadi dalam salah satu dari tiga subfungsi regulasi diri : (1) observasi diri, (2) proses penilaian, dan (3) reaksi diri.

Penyebab Depresi

            Remaja putri, terutama yang matang lebih awal, ternyata lebih depresi dibandingkan remaja putra (Brent & Birmaher, 2002; Ge, Conger, & Elder, 2001; SAMHSA, 2005; Stice, Presnell, & Bearman, 2001). Perbedaan gender ini mungkin terkait dengan perbedaan biologis yang berhubungan dengan pubertas; studi menunjukkan hubungan antara pubertas dini dengan gejala depresi (Susman & Rogol, 2004). Faktor lain yang memungkinkan adalah cara anak perempuan bersosialisasi (Birmaher dkk, 1996) dan kerentanan mereka untuk menjadi stress dalam hubungan sosial (Ge dkk, 2001; Hankin, Mermelstein, & Roesch, 2007).

            Ditambahkan untuk gender perempuan faktor-faktor resiko untuk depresi seperti diabetes atau epilepsy, konflik hubungan orang tua dan anak, dilecehkan atau diabaikan, penggunaan alcohol dan obat-obatan, aktivitas seksual, dan memiliki orang tua dengan sejarah depresi. Penggunaan alkohol dan obat-obatan serta aktivitas seksual ternyata memicu depresi pada anak perempuan dari pada anak laki-laki (Brent & Birmaher, 2002; Halfors, Waller, Bauer, Ford, & Halpern, 2005; SAMHSA, 2005; Waller dkk, 2006). Masalah citra tubuh dan gangguan makan dapat memperburuk gejala depresi (Stice & Bearman, 2001).

            Depresi disfungsi menurut Bandura yang pertama, saat observasi diri  orang dapat salah dalam  menilai performa mereka sendiri atau mendistorsi ingatan mereka mengenai pencapaian di masa lalu. Orang-orang depresi cenderung umtuk membesar-besarkan kesalahan mereka di masa lalu, dan mengecilkan pencapaian mereka terdahulu, suatu kecenderungan yang akan meningkatkan depresi mereka.

            Kedua, orang-orang depresi lebih mungkin melakukan penilaian yang salah. Mereka menentukan standar yang tidak realistis dan sangat tinggi, sehingga pencapaian pribadi apapun akan dinilai sebagai kegagalan. Walaupun mereka telah mencapai kesuksesan di mata orang lain, mereka terus mengkritik performa mereka. Depresi lebih mungkin terjadi pada mereka yang menentukan tujuan dan standar personal yang jauh lebih tinggi daripada persepsi kemampuan mereka untuk mencapai hal-hal tersebut.

            Terakhir, reaksi diri dari orang-orang depresi cukup berbeda dari mereka yang tidak depresi. Orang-rang depresi tidak hanya menilai diri mereka dengan keras, mereka juga cenderung memperlakukan diri mereka dengan buruk karena keterbatasan-keterbatasan mereka.


Analisis

            Depresi adalah masalah psikologis yang dapat disebabkan oleh banyak hal, misalnya karena konflik dengan seseorang, merasa di kucilkan, diabaikan, dilecehkan, dan lain-lain. Orang-orang yang depresi merasa putus asa yang terlalu dalam dan merasa dirinya tidak berguna. Orang yang depresi cenderung menarik diri dari lingkungan, tidak melakukan aktivitas selayaknya orang pada umumnya, merasa tertekan dan terus menerus menganggap rendah dirinya. Dikatakan juga bahwa seseorang yang depresi dikarenakan memiliki suatu tujuan yang lebih tinggi dari standar yang ia miliki.

            Remaja putri yang mengalami masa pubertas lebih awal memiliki risiko depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja putra. Hal ini dikarenakan perubahan fisik maupun hormonal yang terjadi pada saat pubertas dipersepsikan secara berbeda oleh remaja perempuan dan laki-laki. Pada remaja putri, memiliki penilaian negatif terhadap tubuhnya,mereka sering merasa tidak puas pada tubuhnya, merasa dirinya gemuk, tidak menarik, dan wajahnya tidak cantik. Sebaliknya, remaja putra mempersepsikan hal itu secara positif. Menurut Steinberg (2002), remaja putri memiliki hormon oxytocin yang lebih tinggi dibanding putra. Hal ini menyebabkan remaja putri memiliki ketertarikan yang lebih tinggi pada hubungan interpersonal. Tingginya intensitas untuk berhubungan dengan orang lain, membuat remaja putri lebih tergantung pada orang lain yang dianggap dapat memberikan dukungan sosial. Akibatnya, remaja putri lebih peka terhadap penolakan orang lain, mudah merasa tidak puas dengan hubungan interpersonal, sehingga kondisi ini diyakini sebagai resiko munculnya depresi.


Depresi memiliki gejala seperti berikut :

Rasa sedih atau cemas yang terus menerusRasa putus asa dan pesimisRasa bersalah, merasa tidak berharga Kehilangan minat atau kesenangan atas hobi atau aktivitas yang sebelumnya disukai Energi lemah, kelelahan, menjadi lambatSulit berkonsentrasi, mengingat dan memutuskanSulit tidur (insomnia) atau tidur yang berlebihan (hypersomnia) Sulit makan atau terlalu banyak makan (menjadi kurus atau kegemukan) Tidak tenang dan gampang tersinggung Sakit kepala, masalah pencernaan dan nyeri kronis yang terus menerusBerpikir ingin mati atau bunuh diri


Depresi dapat dicegah dengan cara selalu berpikiran positif, berolahraga dan dan selalu menyibukkan diri dengan hal-hal yang positif.

Referensi :

Bandura, A. (1986). Social foundations of  thought and action: A social cognitive theory.

            Engewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Bandura, A (1997). Self-efficacy: The exercise of control. New York: Freeman.

Feist, G. J., & Feist, J. (2010). Theories of personality 7th ed. Jakarta: Salemba Humanika

Papalia, D. E., & Feldman, R. D. (2014).Experience human development 12thed. Jakarta:

        Salemba Humanika.


Hubungan Kesehatan Mental dengan Kecerdasan Emosional

Kesehatan mental menurut seorang ahli kesehatan Merriam Webster, merupakan suatu keadaan emosional dan psikologis yang baik, dimana individu dapat memanfaatkan kemampuan kognisi dan emosi, berfungsi dalam komunitasnya, dan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Kecerdasan emosional Menurut Goleman, kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage ouremotional life with intelligence), menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan ketrampilan sosial.

Salovey dan Mayer menjelaskan bahwa kecerdasan emosional adalah sebuah  himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau serta mengendalikan perasaan dan emosi, baik pada diri sendiri maupun pada diri orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk membimbing pikiran dan tindakan.

Dalam hubungan kesehatan mental dengan kecerdasan emosional sangat berpengaruh. Ketika individu dengan intelegensi yang tinggi namun kecerdasan emosi individu yang rendah sangat mempengaruhi kesehatan mental tersebut.  Ketika emosi sedang memuncak dan kita tidak bisa menahan emosi tersebut maka bisa berpengaruh terhadap mental kita. Misalkan : pada saat marah kita marah dan terus marah seluruh tubuh kitapun ikut marah biasanya bagian bagian organ juga ikut lebih bergerak seperti jantung. Jantung kita akan semakin berdetak lebih cepat. Jika jantung terus bergerak lebih cepat akan mengganggu kesehatan mental itu sendiri. Emosi juga sangat mempengaruhi kehidupan manusia ketika dalam mengambil keputusan, tidak jarang suatu keputusan diambil melalui emosinya. Tidak ada sama sekali keputusan yang diambil manusia murni dari pemikiran rasionalnya. Karena seluruh keputusan manusia memiliki warna emosional. Jika seseorang memperhatikan keputusan-keputusan dalam kehidupan manusia, ternyata keputusannya lebih banyak ditentukan oleh emosi daripada akal sehat.


Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia dan Ketika kita bertahan menghadapi frustrasi, dapat mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mampu mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, serta dapat berempati dan selalu berdoa maka dapat juga berpengaruh pada kesehatan mental seseorang. Mental akan sehat, hidup akan mudah dan merasa puas, sehat dan bahagia.




Daftar Pustaka :

Dewi, Kartika Sari. (2012) Buku Ajar Kesehatan Mental. Semarang : Universitas Dipenogoro

Sarwono, Sarlito W. (2012) Pengantar Psikologi Umum. Cet 4. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada